Etika dalam Praktik Konseling

Etika konseling meliputi prinsip-prinsip seperti kerahasiaan, persetujuan sadar (informed consent), kompetensi, dan tanggung jawab profesional. Konselor wajib menjaga integritas dan kepercayaan klien, serta tidak menyalahgunakan hubungan konseling demi kepentingan pribadi.
Etika dalam praktik konseling adalah dasar yang menjaga agar proses konseling dilakukan dengan cara yang benar, tidak asal-asalan, dan selalu mengutamakan kepentingan klien. Konselor wajib menjaga kerahasiaan semua hal yang dibicarakan dalam sesi konseling. Misalnya, kalau seorang siswa curhat soal masalah keluarga atau tekanan belajar, konselor tidak boleh menceritakannya ke guru lain atau orang tua tanpa izin, kecuali kalau ada ancaman bahaya (seperti niat bunuh diri atau kekerasan). Persetujuan sadar (informed consent) juga penting. Artinya, sebelum konseling dimulai, klien harus tahu dulu tujuannya apa, bagaimana prosesnya, berapa lama, dan apa saja hak mereka—termasuk hak untuk berhenti kapan pun mereka mau.

Konselor juga harus punya kompetensi, yaitu pengetahuan dan keterampilan yang sesuai. Misalnya, konselor sekolah yang belum pernah menangani masalah kesehatan mental berat sebaiknya tidak memaksakan diri menangani kasus depresi berat tanpa rujukan ke psikolog klinis. Selain itu, konselor harus menjaga hubungan profesional, artinya tidak menjalin hubungan pribadi atau emosional yang berlebihan dengan klien. Contohnya, kalau konselornya terlalu dekat sampai curhat balik atau bahkan punya hubungan pribadi dengan klien, ini bisa membuat proses konseling jadi tidak objektif dan membahayakan. Dalam praktiknya, sering muncul tantangan etis, seperti menangani remaja yang meminta rahasia mereka dijaga dari orang tua, atau ketika institusi (seperti sekolah atau perusahaan) menuntut informasi tentang klien. Di sinilah konselor harus bijak—mematuhi aturan etika tapi tetap melindungi klien. Dengan mematuhi etika ini, konseling bisa jadi tempat yang aman, nyaman, dan benar-benar bermanfaat bagi klien untuk mengatasi masalah mereka dan berkembang secara psikologis.

SITI JULIANA SAPUTRI

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top